
Rintihan itu menghentikan langkah Musa 'alaihisalam. Di hadapannya, seorang lelaki tampak tengah berdoa kepada Allah. Meghiba dengan khusyuk, menyampaikan kebutuhannya. Suaranya begitu pilu menyayat hati. Hal ini membuat Nabi Musa tersentuh, dan kemudian beliau memohon, "Ya Allah, kasihanilah dia.. Sungguh , hamba kasihan melihatnya."
Allah pun menurunkan wahyu-Nya kepada Musa, "Sekalipun dia berdoa kepadaKu sampai semua kekuatannya habis, niscaya doanya tidak Aku kabulkan, hingga dia menyadari hak-Ku terhadapnya"
Pengabulan doa adalah kewajiban Allah atas hamba-Nya. Itu pasti. Dan itu mudah bagi-Nya. Mutlak, prerogatif, dan tidak satupun yang kuasa mencampurinya, termasuk saat Allah tidak mengabulkan permohonan itu. Tidak juga rintihan hamba yang gundah di atas luka bernanah, bersimbah darah. Yang membuat air mata berinang dan sejuta simpati datang.
Ini adalah masalah kesadaran akana danya hak Allah dalam peribadatan kita. Dalam pengabdian dan kepasrahan kita. Dalam menjalani taat dan menjauhi maksiat. Sebab Allah wai ditaati dan bukan dimaksiati, diingat bukan dilupakan, disyukuri bukan dikufuri. Bahwa menghamba kepadaNya adalah kewajiban sepenuh kesadaran, dan bukan sekedar menggugurkannya dalam pelaksanaan.
Tentang persembahan terbaik yang bisa kita upayakan, dalam ketauhidan niat dan tujuan penghambaan; menggapai ridha-Nya dan menjauhi murka-Nya. Tidak ada penyertaan keinginan lain yang mengeruhkan makna tauhid, apapun resiko yang mengiringi realisasinya. Sebab bagaimanapun, pilihan telah dijatuhkan!
Dari sini, lahirlah rasa khawatir jika hak-Nya tidak sempurna tertunaikan. Rangkaian ibadah kita ternyata jauh dari standar penerimaan. Penuh noda dan kekurangan. Hingga sangatlah memalukan jika kita selalu membanggakannya. Maka, hilanglah rasa ujub, bangga diri akan amal-amal yang telah lalu. Berganti perasaan rendah dan hina karena bukan banyaknya amal yang akan menyelamatkan kita kelak, namun hanya ampunan, rahmat dan maghfirah-Nya.
Hingga kepasrahan itu harus bulat, penuh, utuh! Dalam keadaan apapun, bagaimanapun, serta dimanapun. Saat lapang dan sempit, saat kenyang dan perut melilit, saat sehat dan sakit, saat bisnis menjulang dan pailit. Karena, tanpa kesadaran akan adanya hak Allah itu, ibadah kita kita tiada memberi manfaat. Atau kalaupun ada, hanya sedikit.
Jadi apakah arti rintihanitu jika lahir dari kehilangan dunia? Yang jabarannya bisa jadi sangat panjang; keluarga, karier, bisnis, jabatan atau apapun namanya. Yang sujud dan doa-doa panjang menghiba itu hanyalah sebuah keinginan agar semuanya kembali, dan bukan tulus mengabdi. Yang setelah kembalinya, apabila mungkin, lidah menjadi kelu berdzikir, akal tak lagi berfikir. kaki berat melangkah, kembali berbuat maksiat dan lupa akan kewajiban ibadah.
Inikah pengabdian itu? Rintihan menyayat hati yang palsu membungkus hasrat diri, bahwa ia bukanlah penghambaan yang murni. Yang lahir dari nihilnya pemahaman hak Allah terhadap kita; para hamba-Nya.
.
.
.
Dikutip dari: Ar-Risalah No.103/Vol.IX/7;
Pic: National Geographic