"Maka dirikanlah solat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." (Surah al-Kautsar:2)
Hari raya Idul Adha yang juga akrab dengan nama hari raya qurban berawal dari kisah Nabi Ibrahim yang ridha menerima perintah Allah untuk menyembelih puteranya Ismail hanya semata-mata karena Allah SWT. Perintah penyembelihan itu diterima Nabi Ibrahim melalui mimpi, ru’yah al-shadiqah sejak tiga malam berturut-turut yaitu tanggal 8, 9 dan 10 Dzulhijjah. (QS.37:102-105). Kemudian Nabi Ibrahim berdiskusi kepada putranya, Anak tersayangnya pun tidak kalah ikhlasnya menerima perintah Allah SWT, berharap agar mereka bisa pertemukan di kemudian hari sebagai orang-orang yang sabar (QS. 37:102). Demikianlah, tentunya Allah SWT tidak akan zalim kepada hamba-Nya. Perintah tersebut semata-mata ujian kepatuhan dan keihlasan Nabi Ibrahim, karena saat Ismail dibaringkan untuk disembelih, Allah menggantinya dengan sembelihan yang besar, berupa seekor domba (QS.37:107).
Ibadah kurban mengandung dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Menyembelih hewan dan membagikan dagingnya pada fakir miskin adalah satu sisi syariat yang dijalani. Akan tetapi, sisi ini bukanlah tujuan satu-satunya dari ibadah itu sendiri. Allah sendiri menjelaskan bahwa yang sampai kepada Allah bukanlah daging atau darah hewan kurban, melainkan ketaqwa¬an pelaku kurban-lah yang sampai kepada Allah (Al ¬Hajj/22:37). Ini menunjukkan bahwa penyembelihan kurban adalah simbol kepasrahan pada aturan-aturan menjalan¬kan perintah Allah. Karena semua ibadah sesungguhnya mestilah bisa memiliki nilai-nilai ruhiyah, di samping syariatnya.
Makna Tauhid Berkurban
Maka bersama kucuran darah, kita kurbankan segala kepentingan dunia, demi memenuhi panggilan Allah. Segala ketaatan kita letakkan di bawah ketaatan kepada Allah. Seluruh ketakutan kita letakkan di bawah katakutan kita kepada Allah. Semua kecintaan hanya untuk dan karena Allah saja. Karena biasanya yang menghalangi kita menghadap Allah adalah keluarga, harta, dan urusan kantor, bisnis, dan usaha lainnya. Begitu kuatnya anak dan harta ini bisa membelenggu kita untuk menghadap kepada Allah, maka Nabi Ibrahim diuji untuk mengorbankan anaknya (walaupun itu tidak terjadi).
Dengan berkurban pun kita dituntut untuk terus mendekat kepada Allah. Di mana qurban itu berarti dekat, maksudnya menyembelih hewan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan rela kita mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli hewan kurban, ini merupakan ujian tersendiri bagi keimanan kita. Tatkala kita memasrahkan kebutuhan-kebutuhan kita hanya kepada Allah, dengan membelanjakan sebagian harta kita di jalan Allah, artinya pula kita mengorbankan kebutuhan-kebutuhan yang tidak pokok, maka itulah momentum ketawakalan dan kebergatungan kita kepada Allah semakin kuat.
Oleh karenanya, ibadah kurban ini akan semakin mengasah ketajaman tauhid kita. Yakni dengan rasa ikhlas-nya menjalankan perintah Allah SWT, bukan dengan pamrih apa pun, tidak untuk siapa pun, dan juga tidak untuk apa pun. Juga keyakinan bahwa uang yang kita keluarkan untuk membeli hewan kurban ini, hakikatnya adalah amanah dari Allah, dan kita belanjakan lagi kepada yang diridhai Allah. Dan ketawakalan, kebergantungan kita, hanyalah pada Allah atas semua kebutuhan hidup kita, semua urusan dan masa depan kita. Di mana kita yakin bahwa Allah SWT akan mengganti uang yang kita keluarkan itu dengan nilai yang berlipat-lipat.
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah 2:261)
Sekali lagi kami belajar darimu....., Belajar dari Ibrahim