Dalam perbincangan sehari-sehari kita sering mendengar pertanyaan
“kerja dimana?”,
“gajinya berapa?”
“wah enak donk banyak uang”
Atau... “lho kok cuma segitu?, sudah coba ke tempat lain?”
Tak jarang, bahkan masih sangat lazim masyarakat menganggap bahwa sukses berarti kaya, kerja di tempat yang bagus dengan gaji besar, anak-anaknya liburan dengan kapal pesiar.
Bila kita mau jujur, kadang uang gaji tidak pernah sampai satu hari berada dalam genggaman kita. Apalagi bila sistem yang digunakan adalah sistem transfer ke bank tertentu, berarti semakin tidak pernah kita memegang uang sebesar gaji kita sebenarnya.
Setelah mendapat gaji di sore hari di akhir bulan, malamnya ayah yang baru pulang akan memberikan uang gaji yang baru diterima kepada ibu. (berapa lama uang di tangan ayah?)
Baru dihitung dan dipegang sebentar oleh sang ibu, kemudian berpindah tangan lagi dibagikan sesuai jatah bulanan anak-anaknya (berapa lama uang di tangan Ibu?)
Setelah mendapat jatah bulanan/mingguan, besoknya sang anak membelanjakan uang tersebut untuk membeli makanan, buku, dan keperluan lain (berapa lama uang di tangan sang anak?)
Ternyata rezeki berputar terus.. malah bagi yang bekerja dan “memiliki” gaji justru paling sebentar memegang uang tersebut.
Rezeki yang sesungguhnya bagi ayah dan suami dan ibu dan anak adalah yang benar-benar dinikmati oleh mereka, yaitu air yang sampai ke kerongkongan mereka, hidangan yang dapat sampai ke perut, buku dan ilmu yang mereka dapat, dan pakaian yang mereka pakai.
Mulut kita hanya satu, perut kita pun terbatas kapasitasnya sehingga tidak mungkin kita memakan segalanya tanpa henti!
Kaki kita hanya dua, walaupun punya banyak pasang sepatu, tidak bisa digunakan seluruhnya bersamaan. Ternyata yang bisa digunakan hanya sepasang!
Badan kita hanya satu. Meskipun memiliki banyak pakaian, ternyata di satu waktu kita hanya bisa menggunakan satu stel pakaian!
Dan selebihnya hanya NUMPANG LEWAT!!!
Disanalah ada rezeki bagi tukang sayur, rezeki bagi penjual pakaian, rezeki bagi penjual buku, rezeki bagi pemilik restoran, bagi sopir taksi dan lain-lain.
Lantas di bagian mana kita harus berbangga-bangga diri dengan harta bila semuanya hanya numpang lewat?
Perputaran rezeki merupakan sunatullah yang terjadi di kehidupan kita. Ada yang miskin, ada yang kaya, dan pada harta si kaya terdapat harta orang-orang miskin dan anak-anak yatim.
Niatkan dalam hati kita saat bekerja adalah sebagai “jalan rezeki” dan jalan kebaikan bagi sebanyak-banyak makhluk Allah. Kesadaran hanya sebagai “jalan” akan membuat kita mudah untuk menyalurkan rezeki menuju tempat-tempat berhenti yang sebenarnya. Nikmatnya menjadi “jalan” memberikan kesempatan kita untuk lebih banyak beramal kepada orang lain baik dengan harta dan ilmu kita. Kesadaran sebagai “jalan” juga menyadarkan kita tidak bergunanya berbangga-bangga diri pada rezeki yang lewat, karena belum tentu milik kita yang sejati. Menyadari diri hanya sebagai salah satu "jalan" membuat kita tidak berputus asa bila yang bisa kita berikan hanya sedikit karena yakin bahwa pasti akan ada "jalan-jalan lain" untuk rezeki keluarga kita. Namun kesadaran ini juga seharusnya membuat kita bersemangat mencari rezeki agar banyak pelabuhan-pelabuhan yang menerima rezeki melalui "jalan" kita.
Betapa nikmatnya menjadi “jalan rezeki”
Seperti gelas yang diatasnya terdapat teko yang TIDAK BERHENTI mengalirkan air yang jernih ke dalam gelas hingga penuh terus-menerus dan TERTUMPAH TERUS mengisi banyak gelas-gelas dibawahnya tanpa pernah gelas itu sendiri menjadi kosong…
ditulis dan disari dari kajian KH Abdullah Gymnastiar di suatu pagi yang penuh hikmah