Mengapa masih juga berdusta?
Inilah Dusta deritanya tiada akhir
derita di awal ketika memulai dusta
derita di tengah ketika harus menambah dusta dengan dusta selanjutnya
derita di akhir ketika harus menerima siksaan dari Allah
maka mengapa memilih dusta?
Sedangkan kitapun tidak ingin didustai?
Derita di awal Dusta
Siapapun anda, pasti merasakan kegalauan saat memulai berdusta/ berbohong. Berbohong berarti mengatakan apa yang bukan sebenarnya. Fitrahnya hati yang suci akan menolak kebohongan dan merasa galau bila berdusta. Allah telah berfirman:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya" (QS Al Isra :36)
"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya, melainkan di dekatnya malaikat pengawas selalu hadir" (QS Qaaf :18)
"Dan Jauhilah perkataan-perkataan dusta" (QS Al Hajj: 30)
Di dalam Islam hanya ada dusta atau bohong yang diperbolehkan berdasarkan hadist Nabi Berikut:
"Dari Ummu Kultsum ra. bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda "Tidaklah dinamakan berbohong, orang yang mendamaikan sengketa di antara manusia. Ia menyampaikan kebaikan atau mengucapkan perkataan yang mendatangkan kebaikan" (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, bahwasannya Ummu Kultsum berkata :"Saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberikan kemurahan dalam ucapan manusia (kaum muslimin), kecuali dalam tiga hal, dalam keadaan perang, mendamaikan sengketa manusia serta omongan lelaki kepada istrinya, dan omongan perempuan kepada suaminya"
Apabila maksud dan tujuannya baik dan dapat dicapai dengan tanpa berdusta, maka menyampaikan dengan berdusta itu hukumnya HARAM. Tidak ada tambahan selain yang ketiga itu menjadi alasan untuk berdusta, meskipun itu remeh.
Sekali berdusta, hati akan galau, kedua kali berbohong, hati tidak menentu, namun ketiga kali bedusta, hati sudah mulai terbiasa dan merasakan Dusta ini tidak meresahkan hati. Naudzubillah..
Derita Di Tengah Dusta
Meskipun hati telah terbiasa dan tidak lagi resah dengan dusta, bukan berarti deritanya terhenti. Sang pembohong harus mati-matian menghafal isi kebohongannya. Bila sedikit saja ia lupa bagian dari kebohongannya, maka ia bisa membuat berita yang tumpang tindih alurnya.
Repotnya menghafal dusta, masih mau ?..
Sekali orang lain dibohongi, mungkin akan menganggap orang tersebut khilaf. Untuk dusta yang kedua dan ketiga, cukuplah untuk menyatakan "berhati-hatilah pada kebenaran ucapan si Fulan". Runtuhlah kepercayaan masyarakat pada si Pendusta. Anehnya, pendusta juga tidak suka kalau ia dibohongi.
Membiasakan dusta berarti memasukkan diri ke dalam golongan orang munafik:
"Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. bahwasannya Nabi SAW bersabda: "Ada empat sifat yang barang siapa jatuh ke dalamnya berarti ia orang munafik sejati. Dan barangsiapa terjerumus salah satu dari empat sifat itu, berarti dalam dirinya terdapat salah satu sifat kemunafikan, sampai ia mau meninggalkan sifat tersebut. Empat sifat tersebut: Apabila ia dipercaya, ia khianat, apabila berbicara, ia dusta, apabila ia berjanji, ia ingkari. Dan apabila bermusuhan dia berbuat keji."
Derita Di Akhir Dusta
Lengkaplah sudah derita pendusta di dunia dilengkapi dengan janji siksaan Allah di neraka.
Dalam sebuah hadist Rasulullah bercerita tentang mimpinya berjalan bersama dua orang, kemudian dia melihat orang yang dibelah dari mulut sampai ke tengkuknya. Dan di akhir perjalanan tersebut Rasul mendapat penjelasan bahwa mereka adalah orang yang suka membuat berita bohong sehingga berita tersebut tersiar kemana-mana. (HR Bukhari)
Dalam hadist riwayat Bukhari yang lainnya, diceritakan bahwa Rasulullah melihat orang yang merobek-robek mulutnya, dan dijelaskan oleh Jibril bahwa itu adalah orang yang suka berdusta.
Adakah kita merinding membayangkannya, atau berita tentang neraka tidak menimbulkan ketakutan sedikitpun?
Dusta yang tak nampak
Adalah saat kita berdusta pada hati kita sendiri dan tentu saja kepada Allah yang Maha Mengetahui, Saat mulut mengatakan "tidak" padahal hati mengatakan "iya". Saat mulut setuju padahal hati menolak. Dan saat berlaku taat, namun ingkar di hati.
Na'udzubillah...
Referensi:
- Al Quranul Kariim
- Terjemah Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi, Jilid 2