Definisi I'tikaf :
1. Secara bahasa, I’tikaf berasal dari kata ‘AKAFA-YA’KIFU-‘UKUFAN (tetap pada sesuatu).
2. Secara syari’at, I’tikaf yaitu menetap di masjid & tinggal di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada ALLAH SWT (LUZUUMUL MASJID WAL IQAAMATU FIIHI BINIYYATIT TAQARRUBI ILALLAAHI ‘AZZA WA JALLA)
Dalil Disyariatkannya I'tikaf :
1. Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2 ayat 187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
2. As-Sunnah: Dari Aisyah ra: “Adalah nabi SAW melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan ALLAH SWT, lalu hal tersebut dilanjutkan oleh para istri beliau SAW setelah wafatnya.” (HR Bukhari, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf pada 10 hari terakhir & i’tikaf di masjid-masjid, hadits no. 2026)
3. Ijma’: Telah sepakat seluruh ummat atas disyariatkannya i’tikaf (AJMA’ATIL UMMATU ‘ALA MASYRU’IYYATIL I’TIKAF).
Kedudukan Hukum I'tikaf :
1. WAJIB: Jika merupakan NADZAR, baik nadzar tersebut MUTHLAQ (tanpa syarat) maupun MASYRUTH (dengan syarat, misalnya jika saya dimudahkan urusan maka saya niat i’tikaf), berdasarkan hadits Ibnu Umar ra: “Umar bernadzar akan i‘tikaf pada zaman jahiliyyah di masjidil Haram. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: Penuhilah nadzarmu!” (HR Bukhari, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab Apabila seorang bernadzar untuk i’tikaf di masa Jahiliyyah lalu ia masuk Islam, hadits no. 2043)
2. SUNNAH: Pada 10 hari di akhir Ramadhan (berdasarkan hadits Aisyah no. 2026 di atas) & di bulan-bulan lainnya selain Ramadhan (berdasarkan hadits Amrah binti AbduRRAHMAN dari Aisyah ra, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf di bulan Syawwal, hadits no. 2041)
Waktu untuk Memulai dan Mengakhiri I'tikaf
I'tikaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan diiqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkan itu.
Adapun i'tikaaf yang sunnah, tidaklah terbatas waktunya.
Imam asy-Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ahli fiqh berpendapat bahwa i'tikaf yang sunnah tidak ada batasnya. [Bidayatul Mujtahid I/229.]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Boleh seseorang beri'tikaaf siang saja atau malam saja. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi'i dan Abu Sulaiman". [Al-Muhalla V/179-180, masalah no. 624.]
SYARAT-SYARAT I'TIKAF
Syarat-syarat bagi orang yang i'tikaf ialah:
a. Seorang Muslim.
b. Mumayyiz.
c. Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.
RUKUN-RUKUN I'TIKAF
1. Niat, karena tidak sah satu amalan me-lainkan dengan niat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus". [Al-Bayyinah: 5].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya". [HSR. Al-Bukhari no. 1, Fat-hul Baari VI/48, Muslim no. 1907]
Niat tempatnya di hati, tidak dilafazhkan.
2. Tempatnya harus di masjid
Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Mengenai tempat i'ikaaf harus di masjid berdasarkan firman Allah: "Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid". [QS. Al-Baqarah: 187]
Jadi, i'tikaaf itu hanya sah bila dilaksanakan di masjid.
Apa-apa yang disunnahkan pada orang yang i’tikaf :
1. Puasa (berdasarkan hadits-hadits di atas), pada selain bulan Ramadhan dibolehkan i’tikaf tanpa berpuasa (berdasarkan hadits Umar no. 2043 di atas)
2. Shalat malam baik berjama’ah maupun sendiri-sendiri (berdasarkan hadits Abu Hurairah, Fathul Bari, Kitab Shalat Tarawih, bab Keutamaan org yang melakukan Qiyam Ramadhan, hadits no. 2009)
3. Menanti lailatul qadar (berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri, Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf pada 10 yang akhir & i’tikaf di mesjid-masjid, hadits no. 2027)
4. Membaca al-Qur’an, berdasarkan firman ALLAH SWT pada surat Al-Baqarah (2) ayat 185 : “…bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
5. Berdzikir, membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, shalawat, istighfar (berdasarkan firman ALLAH SWT QS Al-Ahzab, 33:41 dan hadits Aisyah ra, Fathul Bari, Kitab )
6. Berdoa, berdasarkan Firman ALLAH SWT surat Al-Baqarah (2) ayat 186: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Apa-apa yang dibolehkan bagi yang i’tikaf :
1. Perbuatan-perbuatan yang mubah seperti mandi, berminyak wangi, mencukur rambut, berhias, disisir rambut oleh istri, mencuci rambut/keramas (Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab wanita haid menyisir rambut org yang i’tikaf)
2. Boleh bercakap-cakap dengan orang lain, berduaan dengan istri, ataupun karena ada keperluan keluar ke pintu mesjid atau kerumahnya, kemudian kembali lagi (berdasarkan hadits Shafiyyah ra, Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab Apakah orang yang i’tikaf boleh keluar untuk keperluannya ke pintu masjid, Hadits no. 2035 & no. 2038)
3. Wanita yang sedang istihadhah (mengeluarkan darah bukan karena haid) boleh ikut i’tikaf (berdasarkan hadits Aisyah ra, Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, bab i’tikaf bagi wanita yang Mustahadhah, hadits no. 2037)
4. Orang yang i’tikaf boleh membatalkan i’tikafnya karena sesuatu hal yang penting (Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, Bab Orang yang i’tikaf lalu tampak baginya keinginan untk keluar dr i’tikaf, hadits no. 2045)
5. Orang yang i’tikaf boleh membawa barang-barang yang diperlukan, seperti alas tidur ke dalam masjid (Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, Bab Orang yang keluar dari i’tikafnya di waktu shubuh, hadits no. 2040)
Hal-hal yang membatalkan I'tikaf :
1. Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid akan menjadikan batal i'tikaafnya, karena tinggal di masjid sebagai rukun i'tikaaf.
2. Murtad karena bertentangan dengan makna ibadah, dan juga berdasarkan firman Allah:
"Artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada-mu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter-masuk orang-orang yang merugi". [Az- Zumar : 65]
3. Hilang akal disebabkan gila atau mabuk.
4. Haidh.
5. Nifas.
6. Jima'/ berhubungan suami istri, berdasarkan firman Allah Subahanhu wa Ta'ala
"Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa". [ Al-Baqarah: 187]
[Fiqhus Sunnah I/406.]
Menurut pendapat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu: "Apabila seorang mu'takif (yang i'tikaaf) bersetubuh, maka batal i'tikaafnya dan ia mulai dari awal lagi.
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq, dengan sanad yang shahih. Qiyamur Ramadhan hal. 41 oleh Imam al-Albani]
Tentang Wanita yang Beri'tikaf
Menurut jumhur ulama, tidaklah akan sah bagi seorang wanita beri'tikaaf di masjid rumahnya sendiri, karena masjid di dalam rumah tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah sah menerangkan bahwa para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan i'tikaaf di Masjid Nabawi.[Fiqhus Sunnah I/402]
Tentang wanita yang beri'tikaaf di masjid diharuskan membuat kemah tersendiri dan terpisah dari laki-laki, sedangkan untuk masa sekarang harus dipikirkan tentang fitnah yang akan terjadi bila para wanita hendak i'tikaaf, yaitu terjadinya ikhtilath dengan laki-laki di tempat yang semakin banyak fitnah. Adapun soal bolehnya, para ulama membolehkan namun diusahakan untuk tidak saling pandang antara laki-laki dan wanita.[Al-Mughni IV/464-465, baca Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram III/260.]
Wallahua'lam bishawab.
Referensi:
1. Al Qur'an
2. Fiqh I'tikaf
3. Disalin dari buku Itikaaf oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Ramadhan 1425H/Oktober 2004M