Sebuah anugerah yang sangat luar bisa ketika sampai detik ini Allah SWT masih memberikan kesempatan kepada kita untuk beribadah kepadaNya, di tengah mobilitas kesibukan yang menguras energi, konsentrasi dan jatah waktu berporsi besar dalam tututan rutinitas hidup yang terjalani. Dan selayaknya sebagai seorang muslim, menjadikan setiap waktu dan kesempatan yang ada dalam ketaatan karenaNya.
Ramadhan tinggal dalam hitungan hari akan segera menyambangi, mengiring waktu yang sedang kita runut. Tamu agung inipun sudah tercium aromanya di beberapa kesempatan kajian maupun tabligh akbar bertemakan tentang persiapannya atau biasa dikenal dengan "Tarhib Ramadhan", membahas tuntas keutamaannya.
Ada jiwa yang menggejolak dalam keteraturan gerak. Berjibun agenda dalam bulan mulia telah menggunung tinggi di depan mata. Tentu saja setiap amanah bukanlah hal kebetulan yang harus di emban, namun tak lain adalah sebuah tanggung jawab yang harus diejawantahkan ke dalam aplikasi wujud amal nyata, yang terkonsep dalam amal jama’i
Menjadi panitia Ramadhan, dengan agenda tarhibnya yang memadat. Memawajibkan kita untuk selalu mempunyai tenaga ekstra di banding yang lainnya. Dan adalah suatu kepuasan tersendiri dalam balutan penjagaan niat hanya karena ridhoNya (insyaAllah), ketika amanah-amanah yang berada di aktivitas Ramadhan terjalani dengan baik, sukses dan mencapai target-target yang telah ditentukan sedari awal, atau minimal tak ada kendala yang berarti.
Namun, tunggu! Bagaimana dengan pencapaian agenda pribadi Ramadhan sang panitia?
Adalah kemudian hal yang menjadi polemik ketika dengan alasan mengurusi berjibun agenda Ramadhan kita mengorbankan agenda pribadi kita di bulan yang juga berjuluk syahrut tarbiyah ini. Ada kalanya karena kesibukan amal jama’i yang menyita waktu dan konsentrasi, kita secara disadari atau tidak disadari mengabaikan agenda pribadi, untuk kemudian di ujungnya menyodorkan berbagai alasan untuk pemakluman-pemakluman terhadap diri sendiri terhadap capaian ramadhan pribadi kita yang tidak sesuai target (baca: gagal)
Aktif dalam kepengurusan Ramadhan adalah hal yang luar biasa, karena ada kerelaan dan kerja nyata disana. Namun menjadi hal yang bermasalah kalau ternyata justru menjadi penyebab utama terteternya agenda pribadi kita. Bagaimana mungkin kita menjadi panitia tadarus 3 juz khatam di bulan Ramadhan sementara 1 juz pun secara pribadi kita tak punya cukup waktu untuk mengatamkannya. Bagaimana mungkin kita mengurusi agenda i’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan sementara kita melewatkannya karena pontang panting kesana kemari mempersiapan agenda pasca ramadhan seperti takbir keliling, tabligh akbar dan Idul fitri.
Bila hal itu yang terjadi, berarti ada yang salah dari management diri kita sebagai seorang pengurus masjid, aktivis dakwah, panitia kegiatan atau apapun namanya. Ada porsi-porsi waktu yang belum bisa kita bagi secara tepat dan adil.
Menjadi konsekuensi yang tak mungkin dinafikkan ketika kita berkomitmen mengemban amanah dakwah ini, maka ada pengorbanan-pengorbanan yang harus disumbangsihkan. Namun bukan berarti memebenarkan diri kita untuk tidak berlaku tawazun (seimbang) apalagi mendzolimi diri sendiri. Bukankah Allah SWT tidak suka orang yang dzolim?
Hal lain yang kadang juga terlupakan atau dianggap sang 'panitia' adalah keluarganya.
Miris sekali bila sang anak begitu pontang panting mengurusi kegiatan Ramadhan di luar rumah, sesampainya di rumah hanya tinggal tidur saja, seolah tidak ada orang lain di dalamnya. Padahal di dalam rumah ada Ayah, Ibu, Kakak, Adik, Suami atau Istri dan anak-anak kita, yang mereka semua juga "butuh" merasakan keberadaan kita.
Dan Allah berfirman dalam QS At Tahrim ayat 6 untuk mengingatkan kita : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..."
Ada hak-hak keluarga yang perlu kita penuhi. Yang terpenting bukan banyaknya waktu bersama mereka, namun kualitas kebersamaan itu sendiri. Penuhilah juga hak-hak dakwah di dalam keluarga. Jangan menjadi "sholeh sendiri" di dalam rumah. Ibu sibuk terus membuat kue-kue di dapur tanpa mengetahui keutamaan membaca Al Quran, kakak atau adik dan istri kita sibuk belanja keperluan Lebaran tanpa mengetahui keutamaan i'tikaf padahal kita yang menjadi panitianya. Tak pernah kita ketahui perkembangan mengaji anak-anak kita di Bulan Ramadhan. Saat-saat berbuka di rumah hanya dipenuhi makanan dan diisi dengan menonton "sinema elektronik" yang tak lagi mendidik dan ghibah jama'i yang telah menjadi kebiasaan. Padahal banyak doa-doa diijabah saat berbuka puasa, dan mirisnya keluarga kita justru tidak tahu padahal kita menggembar-gemborkannya bagi ummat di luar rumah.
Bahkan meskipun keluarga kita telah sholeh dan mengerti benar adab Ramadhan, ijinkanlah mereka tetap merasakan keberadaan kita diantara mereka...
Target dan amanah selalu diberikan lebih besar dari kemampuan kita. Inilah yang membuat kita semangat meningkatkan kemampuan diri. Target dan amanah selalu diberikan melebihi waktu kita hari ini, bahkan bila satu hari 25 jam tetap tidak akan pernah cukup. Inilah yang membuat kita belajar tawazun dalam management diri.
Ramadhan akan segera menampakkan kemilau cahayanya. Semoga Ramadhan yang lalu cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk mengkalkulasi kembali target-target amal kita, baik amal pribadi maupun amal jama’i. Mari, tetap menjadi pribadi yang muslih, sholih dan men-sholihkan. Merengkuh keberkahan di bulan Ramadhan dalam muara niat karenaNya. Utamanya menasehati untuk diri sendiri, semoga bermanfaat untuk saudara dan saudariku...
Tawazun untuk diri, keluarga dan masyarakat..Marhaban ya Ramadhan...
Ditulis ulang dengan referensi:
1. Al Quran
2. Tawazun dalam Keteraturan Gerak oleh Rifatul Farida, http://www.eramuslim.com/berita/hikmah-ramadhan/tawazun-dalam-keteraturan-gerak.html